Add to TheFreeDictionary.com

Senin, 14 November 2011

Nabi Muhammad SAW

Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam  naluri,
fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat
dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan  Tuhan  dan
kedudukan   istimewa  di  sisi-Nya,  sedang  yang  lain  tidak
demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu  yang  sama
jenisnya  dengan  batu  yang  di  jalan,  tetapi  ia  memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh  batu-batu  lain.  Dalam
bahasa  tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah
basyariyah bukan  pada  insaniyah."  Perhatikan  bunyi  firman
tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.


Atas  dasar  sifat-sifat  yang agung dan menyeluruh itu, Allah
Swt. menjadikan beliau sebagai  teladan  yang  baik  sekaligus
sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)

"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi
yang  mengharapkan  (ridha)  Allah  dan   ganjaran   di   hari
kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).

Keteladanan  tersebut  dapat  dilakukan  oleh  setiap manusia,
karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji  yang  dapat
dimiliki oleh manusia

Dalam  konteks  ini,  Abbas  Al-Aqqad,  seorang  pakar  Muslim
kontemporer menguraikan bahwa manusia  dapat  diklasifikasikan
ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun
beribadah.

Sejarah hidup Nabi  Muhammad  Saw.  membuktikan  bahwa  beliau
menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut.
Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta
pemikiran-pemikirannya  sungguh  mengagumkan setiap orang yang
bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim  akan  kagum
berganda  kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui
kacamata ilmu  dan  kemanusiaan,  dan  kedua  kali  pada  saat
memandangnya dengan kacamata iman dan agama.

Banyak  fungsi  yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw.,
antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan)  (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara
pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.

Di sini fungsi beliau sebagai  syahid/syahid  akan  dijelaskan
agak mendalam.

Demikian  itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu
menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.)
menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143)

Kata  syahid/syahid  antara  lain  berarti "menyaksikan," baik
dengan   pandangan   mata   maupun   dengan   pandangan   hati
(pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada
posisi  tengah,  agar  mereka  tidak  hanyut   pada   pengaruh
kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam
ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada  di
antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi
saksi dalam  arti  patron/teladan  dan  skala  kebenaran  bagi
umat-umat  yang  lain,  sedangkan  Rasulullah  Saw.  yang juga
berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan  teladan
bagi  umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata
tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan  menjadi  saksi
di  hari  kemudian  terhadap  umatnya dan umat-umat terdahulu,
seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'  (4):
41:

Maka  bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami
menghadirkan  seorang  saksi  dari  tiap-tiap  umat  dan  Kami
hadirkan  pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka
(QS Al-Nisa, [4]: 41).

Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih  oleh  mereka  yang
menelusuri  jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka
mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka
yang  menurut  Ibnu  Sina  disebut  "orang  yang  arif," mampu
memandang rahasia Tuhan  yang  terbentang  melalu  qudrat-Nya.
Tokoh  dari  segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang
secara tegas  di  dalam  ayat  ini  dinyatakan  "diutus  untuk
menjadi syahid (saksi)."

Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw.

Dari  penelusuran  terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa
para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru  oleh  Allah
dengan  nama-nama  mereka;  Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa...,
dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt.
sering  memanggilnya  dengan  panggilan  kemuliaan, seperti Ya
ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan
panggilan-panggilan  mesra,  seperti  Ya  ayyuhal muddatstsir,
atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau
pun  ada  ayat  yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi
dengan gelar kehormatan.  Perhatikan  firman-Nya  dalam  surat
Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan
Al-Shaff (61): 6.

Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa  Al-Quran  berpesan
kepada kaum mukmin.

"Janganlah  kamu  menjadikan  panggilan kepada Rasul di antara
kamu, seperti panggilan sebagian  kamu  kepada  sebagian  yang
lain... (QS Al-Nur [24]: 63).

Sikap  Allah  kepada  Rasul  Saw.  dapat  juga  dilihat dengan
membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s.

Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah  menganugerahkan  kepadanya
kelapangan  dada,  serta  memohon agar Allah memudahkan segala
persoalannya.

"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku  dan  mudahkanlah  untukku
urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).

Sedangkan  Nabi  Muhammad  Saw. memperoleh anugerah kelapangan
dada tanpa  mengajukan  permohonan.  Perhatikan  firman  Allah
dalam  surat  Alam  Nasyrah,  Bukankah  Kami telah melapangkan
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).

Dapat diambil kesimpulan  bahwa  yang  diberi  tanpa  bermohon
tentunya   lebih   dicintai   daripada   yang  bermohon,  baik
permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.

Permohonan Nabi Musa a.s. adalah  agar  urusannya  dipermudah,
sedangkan   Nabi  Muhammad  Saw.  bukan  sekadar  urusan  yang
dimudahkan Tuhan, melainkan beliau  sendiri  yang  dianugerahi
kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi
-dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu  menyelesaikannya.
Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad
dalam surat Al-A'la (87): 8:

"Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."

Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena  satu
dan  lain  sebab-tidak  mampu  menghadapinya. Tetapi jika yang
bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan
tetap akan terselesaikan.

Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja.
Juga dengan  keistimewaan  kedua,  yaitu  "jalan  yang  beliau
tempuh  selalu  dimudahkan  Tuhan"  sebagaimana tersurat dalam
firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke  jalan  yang  mudah."
(QS Al-A'la [87]: 8).

Dari  sini  jelas  bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad
Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa  a.s.,  karena
beliau  tanpa  bermohon  pun  memperoleh  kemudahan  berganda,
sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh  anugerah  "kemudahan
urusan" setelah mengajukan permohonannya.

Itu  bukan  berarti  bahwa  Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh
Allah, sehingga beliau tidak akan  ditegur  apabila  melakukan
sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan.

Dari  Al-Quran  ditemukan  sekian banyak teguran-teguran Allah
kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut

Perhatikan teguran firman Allah  ketika  beliau  memberi  izin
kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.

"Allah   telah  memaafkan  kamu.  Mengapa  engkau  mengizinkan
mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah  terbukti
bagimu  siapa  yang  berbohong dalam alasannya, dan siapa pula
yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)

Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa  beliau
telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."

Teguran  keras  baru  akan  diberikan  kepada  beliau terhadap
ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui  secara  pasti
orang  yang  diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun
ketika  beliau  merasa  dapat  menetapkan  siapa  yang  berhak
disiksa.

"Engkau  tidak  mempunyai  sedikit  urusan pun. (Apakah) Allah
menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]:
128).

Perhatikan  teguran  Allah  dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada
Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani  orang  buta  yang
datang  meminta  untuk  belajar  pada  saat  Nabi  Saw. sedang
melakukan  pembicaraan  dengan  tokoh-tokoh  kaum  musyrik  di
Makkah

"Dia  (Muhammad)  bermuka  masam  dan  berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya..."

Teguran ini dikemukakan dengan  rangkaian  sepuluh  ayat,  dan
diakhiri dengan:

"Sekali-kali  jangan  (demikian).  Sesungguhnya  ajaran-ajaran
Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11).

Nabi berpaling dan  sekadar  bermuka  masam  ketika  seseorang
mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat;
hakikatnya dapat dinilai sudah  sangat  baik  bila  dikerjakan
oleh  manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia
pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang  dalam
istilah Al-Quran disebut zanb (dosa).

Dalam  hal  ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar,
sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan  yang
dilakukan  oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa
(bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."

                          --oo0oo--

Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang  Nabi  Muhammad  Saw.
amat  panjang,  yang  dapat  diperoleh  secara tersirat maupun
tersurat dalam Al-Quran,  maupun  dari  sunnah,  riwayat,  dan
pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau
dan  menguraikan  seluruhnya,   karena   itu   sungguh   tepat
kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri,

"Batas  pengetahuan  tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah
seorang manusia, dan bahwa beliau adalah  sebaik-baik  makhluk
Allah seluruhnya."

Allahumma shalli wa sallim 'alaih. []


WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar